Hantu yang Tak Menyeramkan
Saturday, February 06, 2016
Dalam buku On Murder, Mourning and Melancholia,
Sigmund Freud menulis tentang ketakutan manusia pada hantu. Menurut Freud,
keberadaan hantu diciptakan sendiri oleh manusia. Memori tentang orang yang
sudah meninggal membuat kita membayangkan kehidupan setelah mati. Dari sanalah
muncul halusinasi yang kita sebut dengan hantu.
Selain teori tersebut, masih banyak teori lain
tentang hantu. Ada yang percaya bahwa mereka adalah iblis yang menyamar untuk
menggoda manusia. Atau jin yang selama ini mengikuti setiap orang dan menghafal
gerakannya. Setelah kita mati, jin itu akan menampakkan diri dan berlaku
seperti kita. Bagaimana menurutmu? Kalau menurut saya, hantu adalah makhluk
biasa. Mereka sudah tak bernyawa, itu saja.
Photo by Gabriel on Unsplash |
Saya sendiri bukan orang yang peka akan keberadaan
hantu. Tak punya indra keenam, hanya sesekali menjumpai pengalaman mistis. Yang
pertama terjadi saat saya masih kecil. Ketika sedang duduk sendirian di ruang
tengah rumah, mendadak dua sosok melintas. Mereka berbentuk seperti manusia,
tapi tak punya wajah. Seluruh permukaan kulitnya licin dan berwarna perak.
Daripada hantu, mereka lebih tampak seperti spirit. Jiwa-jiwa yang melintasi
ruang dan waktu yang salah.
Pengalaman kedua terjadi jauh setelahnya. Saya
sudah jadi mahasiswa, saat itu baru saja selesai mengikuti kegiatan kampus.
Malam sudah sangat larut. Jarum jam menunjukkan pukul 2 pagi. Saya diantar
pulang oleh seorang kawan. Motor yang kami naiki melintasi masjid kampus. Dari
kejauhan, saya melihat sosok putih di halaman masjid. Bentuknya mirip sekali
dengan pocong. Tak bergerak. Saya mengedip-ngedipkan mata, tapi sosok itu masih
ada. Rupanya saya tak salah lihat. Itu pocong! Dengar-dengar, masjid tersebut
memang angker.
Mungkin yang paling seram adalah pengalaman
ketiga. Malam itu saya pulang dari kampus dengan berjalan kaki. Sendirian
melewati jalan yang sepi dan gelap. Tiba-tiba, di pertigaan jalan terdengar
suara wanita yang meminta tolong. Dengan bingung saya mencari sumber suara.
Tampaknya berasal dari halaman sebuah rumah yang tak terawat. Namun di sana tak
ada gerakan sama sekali. Suara wanita itu masih saja terdengar, lemah tapi
melengking tinggi. Saya bingung sejenak. Pertigaan itu benar-benar sepi, tak
ada orang lain atau kendaraan yang lewat. Karena tak kunjung menemukan sumber
suara, akhirnya saya berlalu.
Esok harinya saya ceritakan pengalaman itu pada
orang yang sudah sering menjumpai hantu. Menurutnya, daerah itu memang angker.
Dan saya beruntung karena tak menemukan sumber suara. Kalau ketemu, bisa-bisa
saya ditarik ke alam lain. Begitu katanya.
Namun saya tak takut saat mengalami ketiga
kejadian itu. Biasa-biasa saja. Mungkin karena yakin hantu tak akan mengganggu
saya. Sebab, saya juga tak menganggu hantu. Hanya kebetulan lewat dan menjumpai
mereka. Saya percaya kalau hantu dan manusia bisa hidup berdampingan dengan
tenang. Mereka punya dunia sendiri, begitu pula kita. Tak perlu saling ganggu.
Sekadar penasaran sih boleh.
Dibandingkan hantu, saya justru lebih takut pada
manusia. Sebab manusia masih hidup dan bernyawa. Bisa melakukan apa pun sesuai
keinginannya. Entah melukai, memperkosa, bahkan membunuh. Namun kita tak bisa
begitu saja mengenali orang yang baik
maupun yang buruk. Sebab manusia pandai menyembunyikan identitas aslinya.
Kadangkala, orang yang terlihat paling baik justru ternyata paling berbahaya.
Begitu pula sebaliknya.
Kemungkinan itu tak lantas membuat kita berhenti
percaya pada orang lain. Yang diperlukan hanya kewaspadaan. Membuka mata,
telinga, dan hati lebar-lebar. Menangkap sinyal tersembunyi yang disampaikan
orang lain.
2 comments
Kalau mengikuti teori Sigmund Freud, jangan jangan hantu tanpa wajah, pocong dan jeritan wanita adalah leluhurmu sowan menemuimu Pandan. :)
ReplyDeleteApakah hantu itu asalnya orang hidup?
Hihihi. Menurut saya, nggak semua hantu asalnya dari orang hidup. Ada hantu yang asalnya dari ketiadaan, awalnya nggak ada, tapi diciptakan oleh ketakutan kita :)
Delete