Tentang Harry Potter, Kawan Lama Saya
Saturday, February 20, 2016Terkadang anak kecil
membuat sosok teman khayalan. Ia melakukan itu untuk menciptakan versi ideal
dirinya. Kalau ia penakut, teman khayalannya pastilah pemberani. Kalau ia
pemalu, barangkali teman khayalannya humoris dan populer. Sahabat imajiner itu
menemaninya ke mana-mana dan memberi dukungan yang tak bisa diberikan manusia
nyata. Namun saat sang anak berusia tujuh tahun, biasanya teman khayalan akan
menghilang.
Saya sendiri tak pernah
punya teman khayalan. Sepanjang yang bisa saya ingat, dunia ini selalu penuh
orang. Mempunyai dua orang kakak dan dua orang adik membuat hidup saya meriah.
Terlebih, kedua orang tua saya sering berada di rumah. Belum lagi ada
asisten-asisten rumah tangga yang datang silih berganti. Syukurlah, saya tak
kesepian. Masa kecil saya dilewatkan dengan bermain bersama para kakak dan
mengasuh para adik. Teman di sekolah juga banyak.
Walaupun begitu, saya tetap
mempunyai teman yang tidak nyata.
Photo by Shayna Douglas on Unsplash |
Teman saya ini tak
bernapas dan tak bisa dilihat, tapi kurang pas kalau disebut teman khayalan. Ia
hidup dalam lembaran-lembaran kertas yang dihiasi tinta hitam. Ia adalah buku.
Lebih tepatnya, serial novel Harry Potter yang sangat terkenal. Saya adalah fans
berat karya J.K. Rowling ini. Harry Potter adalah tokoh penyihir yang belajar
di Sekolah Sihir Hogwarts. Ia terpilih menjadi satu-satunya orang yang bisa
mengalahkan Pangeran Kegelapan. Dari sekian banyak cerita yang telah saya baca,
Harry Potter selalu mendapat tempat spesial di hati.
Saya masih kelas 2 SD
saat pertama kali berusaha membaca Harry Potter. Sayangnya, bab satu dari
serial pertama yang berjudul Harry Potter
dan Batu Bertuah terasa sangat membosankan. Bab itu didominasi pembicaraan
Dumbledore dan McGonagall yang membingungkan bagi anak kecil. Saya pun menutup
buku itu tanpa menyelesaikan bab satu. Membiarkannya teronggok di antara
buku-buku lain. Lantas, tangan saya terulur mengambil Majalah Bobo.
Barulah dua tahun
kemudian saya mengambil lagi buku Harry Potter. Dengan pemahaman yang lebih
baik, saya bisa melahap bab satu dengan lancar. Lalu bab dua. Bab tiga. Begitu
terus sampai tak terasa semua bab sudah habis dibaca. Dengan antusiasme yang
sama, saya langsung membaca buku keduanya, yaitu Harry Potter dan Kamar Rahasia. Isinya malah lebih menarik dari
buku pertama. Saya berhasil menyelesaikannya dalam sekejap. Tak butuh waktu
lama saya pun menamatkan buku ketiga dan keempat, yaitu Harry Potter dan Tawanan Azkaban serta Harry Potter dan Piala Api.
Buku-buku Harry Potter
terasa sangat menarik bagi saya. Para tokohnya tampak begitu hidup, latar
tempatnya memukau, dan jalan ceritanya lebih dari sekadar imajinatif. Saya
cinta banget pokoknya! Membaca serial Harry Potter adalah pengalaman yang luar
biasa. Saya malah merasa tidak sedang membaca, tapi seolah terhisap ke dalam
petualangan tanpa akhir. Entah di mana awal mulanya dan entah kapan akan
berakhir. Kata-kata dalam buku dan imajinasi saya bercampur aduk.
Saya menamatkan sisa
tiga buku Harry Potter dalam beberapa tahun selanjutnya. Buku yang kelima, Harry Potter dan Orde Phoenix, saya baca
menjelang tahun terakhir di SD. Kemudian saya harus menunggu sampai SMP untuk
membaca buku keenam, yaitu Harry Potter
dan Pangeran Berdarah Campuran. Ceritanya berkembang menjadi semakin kelam.
Banyak tokoh yang mati. Banyak pula kisah-kisah memilukan yang terkuak. Dengan hati
berdebar, saya menunggu selama beberapa tahun untuk membaca serial terakhirnya:
Harry Potter dan Relikui Kematian.
Bagaimana perasaan saya
saat membaca buku terakhir? Entahlah. Saya senang karena akhirnya Harry
berhasil mengalahkan Pangeran Kegelapan. Ia juga menikah dengan gadis
dicintainya, Ginny. Mereka menjadi pasangan bahagia yang dikaruniai tiga orang
anak. Namun di sisi lain, saya sedih karena tak bisa menunggu kelanjutannya
lagi. Cerita ini sudah selesai. Benar-benar usai.
Rasanya seperti
ditinggal pergi oleh seorang kawan lama.
Sampai sekarang, saya
masih membaca serial Harry Potter. Berulang-ulang. Sampai hapal jalan cerita
dan dialog para tokohnya. Saya pun mulai menemukan cacat-cacat kecil dari karya
yang dulu saya anggap sempurna. Namun tak mengapa. Saya tetap menyukainya
dengan kadar yang sama.
Sebagian orang
mempunyai teman khayalan saat kecil. Saya tak pernah mempunyainya. Hanya saja,
saya suka berkawan dengan buku-buku. Mereka tidak berkhianat dan tidak jahat,
serta menjanjikan akhir cerita yang bahagia. Saya tak akan pernah dikecewakan.
Namun seiring dengan berlalunya waktu, buku-buku itu pasti tamat. Meninggalkan
saya bersama realitas. Saat hal itu terjadi, saya bisa melangkah dengan percaya
diri dalam kehidupan ini. Sebab ada teman-teman
yang sudah menemani saya bertumbuh besar dan dewasa.
0 comments