3 Pengalaman Tak Terduga Selama Saya KKN di Bali
Monday, August 08, 2016
Akhirnya KKN selesai
juga. Selama tujuh minggu, saya berkesempatan hidup di Blahbatuh, Bali. Begitu
banyak pengalaman baru. Ada yang menyenangkan dan ada yang tidak, tapi keduanya
sama-sama memberi pelajaran. Di antara semua pengalaman, kali ini saya memilih
tiga untuk diceritakan. Ketiga pengalaman itu tak saya duga bakal terjadi. Mulai
dari musibah, pengalaman bersentuhan langsung dengan mitos Bali, hingga
perjalanan spiritual. Mari kita mulai.
1. Sebuah kecelakaan memberi saya oleh-oleh abadi: bekas luka jahitan
di dahi kanan
Saya tak menyangka
bakal kecelakaan saat KKN. Pengalaman ini terjadi pada akhir minggu pertama.
Siang itu, saya dan kawan-kawan satu tim menghadiri upacara Hari Raya Saraswati. Lokasinya di pura dekat pantai, tak jauh
dari pondok KKN. Karena berlangsung di pura, kami semua memakai kamen (kain bawahan) dan selendang yang diikat
di pinggang. Penampilan ini sangat khas Bali, tapi cukup menyusahkan karena
kami harus berboncengan naik motor.
Kebetulan saya
memboncengkan seorang teman perempuan. Kami tak memakai helm karena pondok
sudah dikunci sebelum sempat mengambilnya. Siang itu sangat panas, kami sudah
lelah karena beraktivitas sejak pagi. Namun saya berusaha tetap fokus. Sayangnya,
jalan desa yang kami lewati tak terlalu bagus. Aspalnya berlubang-lubang dan ada
perbaikan jalan yang memakan separo jalur. Saat melewati belokan yang curam,
ternyata separo jalan terhalang oleh tumpukan besar kerikil. Saya tak siap
menghadapinya. Tak sengaja motor saya menyenggol papan kayu, tergelincir di
pasir, lantas jatuh dengan kami berdua di atasnya. Brak!!
Rentetan shock langsung menghantam benak saya.
Pertama, saya ingat kalau tadi memboncengkan teman—padahal biasanya kalau
kecelakaan, orang di belakanglah yang terluka lebih parah. Kedua, saya bengong
karena darah terus-terusan menetes dari dahi saya, mengalir ke dagu dan paha.
Ketiga, saya tak bisa bangun—sebagian karena kaki keseleo, sebagian lagi karena
hanya bisa melihat bayang-bayang hitam dan putih.
Kabar baiknya, teman
yang saya boncengkan tidak apa-apa. Untung teman-teman KKN yang lain segera
datang dan menolong. Big thanks untuk
teman-teman Kluster Medika yang dengan sigap memberikan pertolongan pertama.
Kemudian saya dibawa ke rumah sakit. Luka-luka pun diobati. Dahi saya ternyata
sobek, jadi langsung dijahit. Setiap dua hari saya kontrol ke puskesmas sampai
jahitannya dilepas. Sedihnya, saya jadi susah mandi dan tidak diperbolehkan
naik motor sendiri selama seminggu. Segi positifnya, saya jadi tahu kalau
teman-teman KKN sangat peduli.
TIPS: jangan sampai kecelakaan saat KKN. Bahkan kalau bisa jangan
sampai sakit. Kegiatan KKN sangat mengandalkan fisik. Kalau fisik bermasalah,
pelaksanaan program pun terganggu. Jadi pakailah helm setiap naik motor,
sekalipun warga lokal jarang memakainya. Kalau belum hafal kondisi jalanan
desa, jangan ngebut-ngebut. Khusus di Bali, berhati-hatilah pada anjing yang
suka berkeliaran di jalan, jangan sampai menabraknya. Perhatikan juga asupan
makanan kita. Sebisa mungkin makanlah minimal dua kali sehari. Daripada makan
mie instan yang tidak sehat, lebih baik makan nasi campur atau menu lain yang
juga murah. Pokoknya sehat pangkal lancar!
2. Jangan
main-main dengan mitos Bali. Karena sembrono, saya pernah “disasarkan” dan
hampir tak bisa menemukan jalan pulang
Salah satu hobi saya
selama KKN adalah jalan-jalan sendiri naik motor. Mungkin terdengar aneh, tapi
kegiatan itu menjaga saya tetap tenang. Sebab selama tujuh minggu saya harus
hidup serumah dengan 15 orang. Ada kalanya menyenangkan, tapi ada kalanya
membuat cepat lelah karena kondisi rumah sumpek dan berisik. Bukannya saya tak
suka pada teman-teman, tapi saya juga butuh waktu untuk sendiri—supaya bisa
berpikir dan meresapi hal-hal di sekitar.
Suatu hari, saya
jalan-jalan naik motor di sepanjang desa. Hari mulai beranjak malam. Tapi saya
cuek saja mencoba-coba lewat ke jalan baru. Nah, salah satu jalan itu ternyata
sangaaat panjang. Melewati warung-warung, deretan rumah, dan akhirnya tanah kosong.
Ternyata itu jalan buntu. Tepat di
ujungnya adalah kuburan. Di sebelahnya, ada pura yang terlihat kuno dan tak
terurus. Saya agak takut melihatnya. Terutama karena hari mulai malam, langit
gelap, dan tak ada siapa-siapa. Tanpa pikir panjang saya langsung balik arah
dan pulang.
Sesampainya di pondok
KKN, ternyata dua teman saya sedang mengobrol tentang hantu. Saya pun iseng
nimbrung. Tanpa sadar, saya menceritakan pengalaman ke kuburan barusan, dan
bodohnya saya membuat itu sebagai bahan candaan. Mungkin sepintas tak masalah.
Tapi saat itu saya berada di Bali, tempat yang hal-hal mistisnya masih sangat
kuat. Di sini tidak boleh bicara dan bercanda sembarangan. Sebab bisa-bisa kita
“dihukum” oleh penunggu setempat.
Kembali ke pengalaman
saya. Setelah bercanda tentang hantu, ternyata saya harus pergi lagi untuk
mengurus program. Maka saya naik motor sendirian ke desa sebelah. Setelah
urusan itu selesai, saya pun pulang lewat jalan yang sudah pernah dilalui.
Namun anehnya tak kunjung sampai ke pondok. Malah berputar-putar di jalan yang
sama. Tak sampai juga walaupun sudah berjalan jauh dan lama. Apalagi batere HP
habis dan kondisi sekitar sepi, hampir tak ada warga yang bisa ditanyai jalan. Hari
pun semakin larut. Tiba-tiba hujan turun deras! Karena kondisi sekitar menyeramkan
untuk berhenti, akhirnya saya tetap jalan.
Diam-diam saya mulai
merasa janggal. Kok tak sampai-sampai ya? Kemudian terpikir, jangan-jangan saya
“disasarkan” oleh penunggu setempat karena tadi bercanda secara tak pantas.
Maka saya minta maaf dalam hati, juga minta ditunjukkan ke rute yang benar.
Setelah minta maaf, tahu apa yang terjadi? Saya langsung menemukan jalan
pulang! Ternyata dari tadi saya berputar-putar tak jauh dari pondok. Aneh
memang.
TIPS: pahamilah budaya setempat dan jangan meremehkannya. Di Bali,
mitos dan adat istiadatnya masih kuat. Tidak boleh bicara jorok dan berbuat
aneh-aneh, terutama di tempat yang ada penunggunya (biasanya ditandai dengan
patung atau pohon yang dipakaikan kain). Selain saya, ternyata beberapa teman
KKN pernah mengalami hal yang mirip. Mereka berlaku kurang pantas dan “dihukum”
oleh penunggu setempat. Jadi usahakan selalu sopan dan tahu diri.
3. Atmosfer agama di Bali dan Jawa sangat berbeda. Kondisi ini membuat
saya kembali melakukan petualangan spiritual
Mayoritas penduduk Bali
memeluk agama Hindu. Karena itu, kondisi lingkungannya sangat berbeda dengan di
Jawa yang mayoritas muslim. Saya pun sempat heran. Yang tadinya melihat masjid
di mana-mana, sekarang lebih sering melihat pura. Yang tadinya melihat banyak
perempuan berhijab, sekarang hampir tak pernah melihatnya—kebanyakan perempuan
memakai kamen dan kebaya untuk
sembahyang. Pokoknya kondisi di Bali sangat berbeda. Hal itu membuat saya
berpikir dan bertanya-tanya.
Yang lebih asyik, agama
teman-teman KKN saya sangat beragam. Ada yang Islam, Kristen, Katolik, Hindu,
Buddha, bahkan ada yang punya kepercayaan lain. Bagaimana dengan saya sendiri? Selama
di Bali, saya menyempatkan diri untuk belajar langsung dari teman-teman. Mulai dari
bertukar cerita sampai menemani ke rumah ibadah. Ritual-ritual itu terasa
menenangkan. Saya merasakan kebutuhan yang kuat untuk berdoa. Sayangnya saya
tak bisa bercerita lebih lanjut di blog. Kalau ingin bertukar cerita tentang
agama dan spritualisme, lebih baik kita bertemu langsung :)
TIPS: saat hidup di lingkungan baru, bukalah pandangan lebar-lebar.
Rugi kalau berpandangan sempit. Seraplah pengetahuan sebanyak-banyaknya, lalu
saring dengan prinsip kita sendiri. Jadi kita tak terombang-ambing saat
beradaptasi. Oh ya, selama KKN saya makin menyadari satu hal: keajaiban terjadi
di zona tak aman kita. Jadi kalau ingin mengalami berbagai hal luar biasa, kita
perlu keluar dari cangkang perlindungan selama ini. Lantas melangkah ke dunia
luar yang penuh kejutan!
2 comments
Tulisan Mbak Pandan sederhana, tapi selalu menarik untuk dibaca. Semangat mbak!
ReplyDeleteMakasih buat semangatnya! Semoga ke depannya saya bisa menulis lebih rutin :)
Delete