Kisah di Balik Jeruji Penjara
Monday, October 10, 2016
Rumah saya tak terlalu jauh dari
penjara. Jaraknya hanya sekitar lima menit naik motor. Dulu saat masih kecil,
saya kerap memandangi penjara itu dengan penasaran. Mengamati temboknya yang
hijau dan tinggi. Menunggu orang keluar. Namun tak pernah ada. Saya selalu
penasaran pada orang-orang yang tinggal di sana. Apa yang mereka lakukan?
Seperti apa penampilan mereka? Sampai akhirnya, pertanyaan saya terjawab juga.
Sekitar sebulan lalu saya mendapat kesempatan liputan langsung ke penjara itu,
dalam rangka lokakarya Festival Kesenian Yogyakarta (FKY) yang ke-28.
Photo by Denis Oliveira on Unsplash |
Pukul sembilan pagi, saya dan
teman-teman memasuki halaman penjara. Ternyata di dalam luas dan sepi. Agak
seram juga rasanya dikelilingi tembok yang sangat tinggi. Sebelum masuk ke
bangunan utama, kami harus menitipkan barang bawaan di ruang khusus. Tak ada
ponsel yang boleh dibawa. Bahkan jumlah kamera yang masuk pun dibatasi. Setelah
itu, setiap orang diberi nomor urut pengunjung. Bentuknya berupa kartu kecil
dan bisa dikalungkan di leher. Barulah kemudian kami berjalan ke aula penjara.
Sejujurnya saya agak berdebar-debar.
Entah apa yang menunggu kami di sana. Saya kira bakal disambut sekumpulan
narapidana yang menyeramkan, dengan tato dan luka di mana-mana. Ternyata tidak.
Mereka justru tampak sangat wajar. Di dalam aula itu, sekitar seratus
narapidana wanita duduk di karpet. Mengenakan seragam penjara yang mirip
setelan olahraga. Ada yang sudah tua dan keriput. Ada juga yang masih muda,
cantik, dan seksi. Sebagian orang memakai make
up. Bahkan yang berhijab pun mengikuti tren kerudung terkini. Semua saling
bercakap-cakap dengan gembira. Layaknya perkumpulan wanita biasa.
Hari itu mereka belajar membuat zine bersama kami. Zine adalah media cetak alternatif yang biasanya diterbitkan secara
personal atau kelompok kecil. Isinya bisa apa saja. Entah gambar, puisi,
cerpen, atau lainnya. Semua tahanan diberi kertas dan alat gambar. Lantas
mereka bebas mencurahkan isi hati ke dalam karya. Kebetulan saat itu saya
bertugas menjadi jurnalis. Sambil mencari materi untuk berita, saya bertanya
macam-macam tentang kehidupan mereka.
Seorang tahanan bercerita tentang
makanan di sana. Katanya, makanan mereka tidak enak. Kadang-kadang hanya makan
kubis yang dicampur air dan ditumbuk. Ditambah tempe mayit, yaitu tempe yang direbus tanpa diberi bumbu. Hambar. Mungkin
rasanya begitu karena juru masak harus membuat makanan untuk banyak orang
sekaligus. Tapi kadang-kadang mereka makan enak dengan menu lele, telur, ikan
asin, dan sayur. Bisa juga beli makanan di koperasi penjara atau di luar.
Caranya dengan menitip petugas. Bisa pesan sate, nasi campur, atau lainnya. Oh
ya, tahanan tak boleh memegang uang cash.
Barang-barang dibayar dengan sejenis voucher.
Ada sejumlah kamar yang luas di
penjara itu. Setiap kamar diisi sekitar 10 orang. Mereka tidur di atas kasur
tipis, bawahnya matras. Setiap hari kegiatan dimulai dengan apel pagi pukul
tujuh. Setelah itu banyak kegiatan yang bisa diikuti. Misalnya latihan
menyanyi, belajar membuat tas dan kerajinan tangan, atau menonton televisi
bersama. Setiap ashar dan zuhur, ada sholat berjamaah untuk yang muslim. Mereka
pun bisa mengisi waktu dengan bersih-bersih. Misalnya saja mencuci baju,
sebulan cukup dengan sabun cuci satu kilogram. Penjara itu juga menyediakan
jasa laundry dengan biaya 150 ribu
per bulan.
Sepintas kehidupan mereka wajar saja.
Bahkan seorang tahanan berkata kalau dia cukup nyaman tinggal di sini—kadang
tak seperti penjara, malah seperti pondok pesantren. Namun tentu saja ada sisi
tak enaknya. Kalau dipenjara, berarti kebebasan kita terenggut. Tak bisa
melihat dunia luar. Tak bisa melakukan kegiatan sesukanya. Yang paling berat,
tak bisa menjumpai keluarga dan orang-orang yang disayangi. Beberapa tahanan
curhat kalau mereka sangat merindukan keluarga. Ada yang harus meninggalkan
anaknya di rumah. Ada yang harus meninggalkan bisnisnya yang sedang berkembang.
Mereka sungguh ingin keluar dari penjara. Namun sayangnya, kebebasan baru bisa
diraih berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun lagi.
Entah apa yang mereka pikirkan
menjelang tidur malam. Saat kondisi sudah sepi dan lampu dimatikan, yang tersisa
hanya pikiran dan dialog dengan diri sendiri. Barangkali para tahanan bergulat
dengan penyesalan. Mengumpat sesuatu yang membuat mereka dijebloskan ke
penjara. Beberapa narapidana bercerita kalau mereka ditipu. Saat meminjam uang
ke suatu tempat, entah bagaimana utangnya menjadi sangat besar, lalu dituntut
dan tak bisa mengelak dari jeratan hukum. Ada juga alasan-alasan lain yang tak
kalah menyakitkan (atau menakutkan). Semua itulah yang membuat mereka berkumpul
di penjara. Dengan latar belakang dan cerita yang berbeda, tapi berbagi
kesedihan yang sama.
Beberapa narapidana meneteskan
airmatanya di depan saya. Mereka menangis tersedu-sedu. Saya hanya bisa memeluk
dan mengelus bahu mereka. Hari itu terasa panjang. Menjelang berakhirnya acara,
para narapidana mengumpulkan karya mereka. Ada yang menulis puisi, menggambar, membuat kolase, dan lainnya. Dalam setiap karya terselip beragam emosi. Ada kemarahan.
Kesedihan. Kengerian. Ada pula kehausan dan kerinduan untuk bebas. Sejak
itu, barulah saya menyadari betapa berharganya kebebasan yang saya miliki.
0 comments