Menjalani Kehidupan yang Tak Dimengerti
Friday, October 28, 2016
Mungkin sebagian dari kita hidup
untuk menyenangkan orang lain. Berlaku baik supaya mendapat teman.
Berpenampilan mewah supaya dianggap setara. Tak melakukan hal-hal yang kita
sukai, hanya karena tak ingin dijauhi orang lain. Entah sejak kapan pendapat
mereka jadi sangat penting bagi hidup kita. Dalam porsi yang tepat, tentu saja
tak mengapa. Namun jangan sampai hidup kita dikendalikan opini dari luar. Tak
perlu membunuh karaktermu—atau mimpi-mimpimu—hanya untuk menyenangkan semua
orang.
Photo by Naomi August on Unsplash |
Tahukah kamu? Sebenarnya hanya ada
dua orang yang perlu kita senangkan. Yang pertama adalah diri kita di masa
lalu, saat berumur sepuluh tahun. Masih ingat seperti apa? Kalau saya, di usia sepuluh
tahun, adalah anak kelas 5 SD yang canggung. Saya bertumbuh tinggi terlalu
cepat. Sudah memakai kacamata. Rambut pendek dan mengikal di bawah, membingkai
wajah bundar yang kekanak-kanakan. Tak pernah jago olahraga. Sangat gugup kalau
harus pidato atau menyanyi di depan kelas. Namun di balik itu, saya punya tekad
yang kuat. Dulu saya selalu bermimpi untuk menciptakan karya yang luar biasa.
Entah tulisan, gambar, atau lainnya. Karya itu harus memberi pengaruh pada
orang-orang yang menikmatinya.
Kalau kamu, apa impianmu saat kecil?
Mungkin kamu pernah bercita-cita untuk keliling dunia. Melihat banyak negara
dan berteman dengan orang asing. Atau mungkin, dulu kamu selalu jatuh iba kalau
melihat pengemis di jalan. Lalu bermimpi untuk memberi pekerjaan pada semua
orang, supaya tak ada lagi yang kelaparan dan meminta-minta. Bisa juga yang
lain. Setiap orang pasti punya mimpi semasa kecil. Namun tak semua bisa
meyakininya sampai sekarang.
Tahun demi tahun memang telah
berlalu. Kita bertumbuh dan makin dewasa. Tuntutan dari luar bertambah banyak.
Setelah lulus SMA, kita akan selalu ditanya, mau kuliah di mana? Beruntung
sekali orang yang bisa mengambil jurusan sesuai minatnya dan direstui orangtua.
Beberapa teman saya ada yang kuliah untuk menyenangkan orangtua, dan berkutat
bertahun-tahun dalam jurusan yang tak membuat mereka bergairah. Bahkan ada yang
tak tahu tujuannya sama sekali, lantas memilih jurusan secara acak. Lambat laun
mereka menyadari kalau salah jurusan. Segala hal bisa terjadi. Sebenarnya,
kuliah di mana pun tak masalah—asalkan bisa memaksimalkan kemampuan kita. Kalau
tidak di ruang kelas, barangkali di luar.
Saya punya seorang teman yang sangat
menurut pada orangtua. Sebut saja Rima. Sebenarnya Rima ingin kuliah di jurusan
A, tapi karena tak disetujui orangtua, dia pun terdampar di jurusan B. Setiap
hari kuliah tanpa semangat. Namun hebatnya, dia hampir tak pernah bolos.
Katanya tak tega pada orangtua yang sudah susah-payah membayar kuliah. Dalam
kehidupan sehari-hari, dia juga sangat menurut. Bayangkan saja, jam malam yang
diberikan orangtuanya hanya sampai pukul enam sore! Di luar itu, dia tak boleh
ke mana-mana kecuali bersama keluarga atau untuk acara yang sangat penting. Padahal
kan ada berbagai kegiatan asyik di malam hari. Sayang kalau dilewatkan. Tapi
Rima menurut saja. Justru saya yang geregetan.
Belum lama ini, saya dan Rima
mengobrol tentang rencana kami selepas kuliah. Rima bercerita kalau orangtuanya
menyuruh dia melanjutkan S-2 di luar negeri. Saya tidak heran. Ayahnya memang
lulusan universitas top di Prancis. Kakaknya pun sekarang menempuh studi di
Jerman. Kalau mau kuliah di luar negeri, jalan Rima sudah terbuka lebar. Saya
kira dia akan setuju pada orangtuanya seperti biasa. Tapi ternyata… tidak. Rima
menolak. “Aku ingin tetap di Indonesia, ikut LSM, dan mengajar anak-anak yang
tinggal di pelosok,” kata Rima.
Dengan sedih Rima bercerita,
keluarganya tak menyetujui rencana itu. Mereka takut dia tak bisa memperoleh
uang dari pekerjaannya. Mereka pun tetap mendorong dia untuk menekuni karier
yang lebih prestisius. Namun dengan ketegasan yang tak terduga, Rima berpegang
pada keputusannya. Dia memilih untuk mengejar mimpi dan panggilan jiwa, sekalipun
jalannya akan lebih sulit dan berkelok. Semoga usahanya mendapat hasil yang
setimpal.
Masih ingat kata-kata saya di awal
tulisan? Sebenarnya, hanya ada dua orang yang perlu kita senangkan. Yang
pertama adalah diri kita sendiri saat berusia sepuluh tahun. Sebab, dia
membentuk mimpi-mimpi kita yang paling polos dan jujur. Dialah diri kita yang
asli sebelum diubah oleh berbagai tuntutan. Lantas siapa orang yang kedua? Dia
adalah diri kita di masa depan, saat berusia tujuh puluh tahun. Sudah pensiun
dan lebih banyak istirahat. Bayangkan betapa senangnya dia, kalau mengenang
masa muda yang dijalani sesuai mimpinya!
6 comments
Pandan, aku suka banget sama tulisanmu ini. Aku jadi mengecek ulang apakah hidupku sekarang terbawa arus utk menyenangkan semua orang atau mewujudkan mimpiku saat umut 10 tahun lalu. Dan ternyata aku sdg mewujudkan mimpiku krn aku menyukainya bukan melakukan hal yang tak kusukai untuk menyenangkan orang lain. �� thanks ya krn baca ini aku jadi punya 1 lg alasan untuk bersyukur krn aku beruntung. Hihi
ReplyDeleteHalo Mbak Erny, makasih udah baca dan komentar. Kadang kita memang perlu berhenti sejenak dari kehidupan yang serba cepet. Terus berpikir ulang tentang hal-hal yang udah dilalui selama ini, biar ke depannya nggak salah jalan. Anyway, semoga Mbak Erny makin semangat buat mewujudkan mimpi! :)
Deletepandan, jujur banget nih. tulisan mu keren banget yang ini. alurnya bagus banget! aku jadi intropeksi diri juga apakah aku sudah membahagiakan diriku sendiri ? sukses buatmu ya dek, aku yakin kamu adalah penulis yang hebat nantinya di masa depan sesuai dengn cita-citamu di umur 10 tahun.
ReplyDeleteMakasih buat pujian dan doanya, Mbak Corry. Semoga Mbak Corry juga makin sukses di masa depan. Jangan lupa bahagia, karena kita juga pantas buat merasakannya. Mulai aja dari melakukan hal-hal kecil yang disukai :)
DeleteMba, aku jadi memikirkan kembali mimpiku saat berusia 10 tahun. Waktu itu, ambisiku adalah bisa menghafal nama ibu kota semua negara di dunia.Hehehh
ReplyDeleteWkwkwkw ambisimu unik banget ya Rahma. Sekarang udah tercapai belum? Bagus kalau masih inget mimpimu di masa kecil, karena terkadang, menengok ke belakang itu perlu :)
Delete