366 Hari dan Sederet Pelajaran yang Mendewasakan
Saturday, December 31, 2016
Walau samar-samar, saya masih ingat kenangan setahun lalu. Saat itu malam tahun baru 2016. Saya lewatkan bersama seseorang yang spesial. Kami pergi ke cafe dan menyeruput cokelat panas. Bersantai dan bercanda, juga bercerita tentang apa saja. Tak terasa mulai mengantuk. Dia pun pindah duduk ke samping saya. Tangannya menggenggam tangan saya dengan lembut. Begitu terus sampai menit-menit berlalu dan tahun berganti. Rasanya hangat dan sangat nyaman. Saat itu saya tak tahu: beberapa bulan kemudian, saya tak akan bisa menggenggam tangannya lagi. Dialah yang pertama hilang dari hidup saya tahun ini.
Sederet kehilangan saya rasakan di tahun 2016. Tak hanya kekasih, tapi juga sahabat—seseorang yang sudah mewarnai hidup saya selama bertahun-tahun. Kematian pun membayang dengan bengis. Saya kehilangan sesosok keluarga yang penting, yang telah menjadi seguci penuh abu pembakaran. Keguncangan spiritual pun kembali saya rasakan. Saya tak lagi tahu mana yang harus dipercaya. Hingga puncaknya, saya kehilangan diri sendiri. Namun tak perlu khawatir. Kehilangan selalu sepaket dengan penemuan. Di usia 21 tahun ini, saya banyak bersenang-senang dan melakukan hal baru. Inilah kisah saya selama 366 hari yang penuh pelajaran tak terlupakan…
Photo by Roman Melnychuk on Unsplash |
Kadang merelakan cinta itu susah. Mungkin butuh waktu lama, tapi akhirnya luka hati akan sembuh
Menjalin hubungan di usia kepala dua memang beda. Saat masih belasan tahun, saya cenderung jatuh cinta pada cinta itu sendiri. Terbuai oleh angan dan khayalan. Terjebak dalam hubungan “putus nyambung” yang tak berfaedah. Akhirnya putus selamanya, lantas tak berhubungan lagi. Untung tahun ini cinta saya berevolusi. Yang tadinya kekanakan jadi lebih dewasa. Berupaya saling melengkapi. Saling mendukung. Berproses bersama untuk masa depan. Satu hal yang baru disadari belakangan, ternyata ada konsekuensi yang lebih besar.
Intinya saya patah hati. Namun patah hati yang ini jauh lebih menyakitkan. Bohong kalau saya bilang tak apa-apa dan bisa move on secepat kilat. Butuh waktu lama untuk menyembuhkan luka. Dalam proses itu, saya belajar banyak hal. Yang paling penting adalah merelakan. Kita harus membebaskan diri dari rasa bersalah dan jutaan kata “seandainya”. Sebab tak ada momen yang bisa diputar ulang. Berhentilah mengharapkan keajaiban—itu hanya akan menyiksa kita. Kalau suatu hal buruk terjadi, hal itu memang harus terjadi dan pasti ada anugerah di baliknya. Saya pun kini sudah berdamai dengan masa lalu. Tak ada lagi perasaan yang mengganjal. Semua sudah selesai, saya siap mengukir kisah baru.
Tak perlu ragu melepas sahabat, kalau dia membawa banyak energi negatif dalam hidupmu
Selama ini saya memilih teman berdasarkan energi. Sebagian orang memancarkan energi positif yang menyenangkan. Biasanya karena memelihara sifat dan kebiasaan baik. Namun ada juga yang diselimuti energi negatif. Setiap kali dekat dengan mereka, saya merasa tenaga dan emosi cepat terkuras. Jadi saya menghindari orang-orang seperti itu. Namun ada kalanya saya mempertahankan orang yang salah. Dia adalah sahabat saya selama tiga tahun. Kami telah melewatkan banyak waktu bersama. Kadang senang, kadang sedih, dan sudah sangat memahami satu sama lain. Sepintas pertemanan ini baik-baik saja. Namun rasanya ada yang mengganjal.
Saking lamanya berteman, saya sulit memandang dia dengan objektif. Begitu banyak pembenaran yang dilakukan. Meski dia membawa pengaruh buruk, saya terima saja. Seringkali merasa kesal bahkan muak padanya—tapi saya kira itu sesuatu yang biasa. Sampai akhirnya, terbukti kalau ada banyak sekali orang yang tak menyukai dia. Mereka heran karena saya bisa bertahan pada sifat dan perbuatannya. Pada titik itulah saya mulai ragu. Lantas, saya pun memutuskan untuk melepas sang sahabat. Tak menghubungi dan main bareng lagi. Sebab pembawaannya sudah mengakar kuat, sulit untuk diperbaiki. Awalnya memang sedih karena dia pernah menjadi orang yang berharga bagi saya. Namun lama-lama dampak positifnya terasa. Hidup jadi lebih tenang dan tentram.
Percayai apa yang penting bagi kita, dan jangan lepaskan
Selama ini orang-orang penasaran apa agama saya. Banyak yang menebak dan banyak juga yang salah. Mungkin karena saya tak mencirikan agama tertentu. Yang jelas, saya memeluk suatu keyakinan yang diperoleh dari perjalanan spiritual panjang. Keyakinan ini memang agak beda. Dulu saya menutup-nutupinya karena takut kehilangan teman. Sebab saya pernah hidup dalam lingkungan beragama yang homogen dan ekstrem. Harus sembunyikan jati diri agar bisa membaur. Sungguh, itu adalah tahun-tahun yang sangat melelahkan. Hingga akhirnya saya membuka diri pada beberapa teman dekat—dan mereka menerima saya apa adanya.
Sejak itulah saya jujur dan terbuka tentang keyakinan. Kalau ada yang tidak suka, ya biar saja pergi. Namun ternyata saya bisa berteman dengan orang-orang dari berbagai agama. Termasuk yang fanatik atau tak percaya Tuhan sekalipun, sebab kami saling menghormati. Tampaknya semua baik-baik saja. Namun suatu saat, keyakinan ini membuat saya kehilangan seseorang yang sangat berharga. Rasanya shock berat. Saya berkali-kali menyalahkan diri sendiri. Tak lagi mempercayai keyakinan. Kembali meragukan semuanya. Hidup saya sempat terguncang, tapi untunglah kembali seimbang. Tentu setelah melakukan pencarian spiritual. Bagaimanapun, ini adalah keyakinan yang penting bagi saya. Akan selalu saya jaga dan percaya.
Mumpung masih muda, kita perlu banyak jalan-jalan. Ada banyak pengalaman tak terduga yang akan mendewasakan
Tahun ini saya mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Bali. Selama dua bulan, kelompok saya menghadapi berbagai tantangan yang seru. Biasanya kami jadi mayoritas di Jawa. Namun di Bali, kami berubah jadi minoritas yang tak tahu banyak. Harus berusaha adaptasi dengan budaya setempat. Belajar menerima rasa makanan yang tajam dan asin. Ikut beribadah di pura. Membiasakan diri dengan sinar matahari yang sangat menyengat. Kesenian dan berbagai ritual di sana luar biasa. Begitu juga dengan keramahan penduduk desanya. Tak hanya beradaptasi di luar, kami pun harus belajar tenggang rasa dengan teman satu pondok. Berusaha saling memahami. Tak bisa marahan lama-lama karena tidur di bawah atap yang sama. Banyak sekali kenangan selama dua bulan itu, ada yang baik dan buruk. Saya tak akan melupakannya.
Selain Bali, saya banyak menjelajah ke negara lain. Tahun ini ada empat negara yang saya kunjungi sendirian: Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Hong Kong. Benar-benar sendirian tanpa teman dan keluarga. Bahkan saya tak punya kenalan di negara tujuan. Namun, kebaikan hati selalu ada di mana saja. Ada banyak bantuan dari sesama turis maupun penduduk lokal. Saya bahkan merayakan ulang tahun di Vietnam, bersama sekelompok turis dari Filipina. Setiap negara menawarkan cerita yang unik dan berbeda. Tak terhitung berapa kali saya tersesat dan kebingungan. Semua itu terbayar impas dengan pengalaman indah yang tak tergantikan.
Pada akhirnya, tahun 2016 pun berlalu. Mari kita sambut tahun 2017 dengan semangat baru!
Ini hari terakhir di tahun 2016. Begitu banyak hal yang terjadi sepanjang tahun. Saya berterima kasih pada Tuhan karena masih memberikan hidup. Terima kasih juga pada keluarga, sahabat, teman, rekan kerja, dan kenalan-kenalan saya yang membuat tahun ini begitu berarti. Besok adalah hari yang benar-benar baru. Mari kita sambut tahun 2017 dengan semangat!
2 comments
Pandan aku selalu suka caramu menulis. Selamat tahun baru. Semoga perjalanan 2016 jadi pelajaran utk langkah berikutnya!
ReplyDeleteSama-sama Mbak Erny. Aku juga suka baca tulisan-tulisan Mbak Erny di blog. Soalnya bikin seger dan nambah banyak ilmu tentang make up. Selamat tahun baru, semoga makin produktif berkarya 😊👌
Delete