3 Kejutan Selama Traveling Sendirian di Hong Kong
Saturday, January 14, 2017
Saya suka traveling sendirian ke luar negeri. Banyak pengalaman seru yang diperoleh.
Kalau pergi dengan orang lain, perjalanan memang lebih lancar. Namun saat pergi
sendiri, kita lebih banyak belajar. Sebab harus melakukan segalanya sendirian.
Mulai dari imigrasi, naik kendaraan ke penginapan, cari makan, ke tempat
wisata, dan sebagainya. Kebingungan bisa berlipat ganda. Apalagi saya susah
baca peta, jadi sering nyasar ke mana-mana. Tapi tak perlu khawatir. Yang
penting tetap tenang dan berpikir jernih. Sejauh ini, saya sudah mengalami
berbagai tantangan—mulai dari salah naik kereta, tersesat malam-malam di daerah
sepi, sampai ketinggalan pesawat. Kalau dihadapi dengan baik, semua itu jadi
pengalaman yang bermakna.
Photo by Nic Low on Unsplash |
Tahun lalu saya traveling sendirian ke empat negara. Yang terakhir adalah Hong
Kong. Sebelum berangkat, ada pengarahan dari kakak lelaki saya. Dia sempat
tinggal lama di luar negeri dan suka traveling
ke mana-mana. Jadi cocok untuk dimintai saran. Nah, tiap kali saya ke luar
negeri, kami berdua membuat perjanjian. Pertama, saya tak boleh bawa koper.
Selama apa pun perjalanannya, yang boleh dibawa hanya tas ransel supaya
praktis. Kedua, tidak boleh bawa uang saku banyak-banyak. Secukupnya saja, jadi
bisa latihan berhemat. Ketiga, harus bawa oleh-oleh dengan cara menawar
serendah mungkin. Tujuannya untuk belajar komunikasi dengan orang asing. Kakak
juga memberi penekanan, saya tak boleh hanya menjadi turis. Tapi harus membaur
dengan penduduk setempat. Jadi sebisa mungkin tidak ikut tur wisata.
Sebelum berangkat, saya sudah membeli
tiket pulang dan pergi. Juga memesan hostel untuk ditempati selama lima hari.
Saat di Hong Kong, saya tak hanya jalan-jalan. Tapi juga survey ke berbagai
galeri seni untuk memperkenalkan bisnis keluarga saya. Tak lupa mewawancarai
mahasiswa Indonesia yang kuliah di sana untuk dijadikan buku. Berbagai rencana
sudah dibuat. Informasi pun dicari sebanyak mungkin. Namun saat sampai di Hong
Kong, tak semua berjalan sesuai rencana. Ada berbagai kejadian tak terduga! Berikut
ini adalah tiga kejutan selama saya traveling
sendirian di Hong Kong.
1. Tak bisa masuk hostel saat hari pertama, padahal sudah tengah malam
Saya berangkat dari Yogyakarta ke
Kuala Lumpur. Menginap sehari, lalu lanjut ke Hong Kong. Sampai di Bandara Internasional
Hong Kong pada malam hari. Saya melihat-lihat dulu di bandara, mencoba naik MTR
(Mass Transit Railway, kereta cepat
di sana), lalu mengelilingi kota. Banyak sekali hal menarik yang bisa dilihat.
Tak terasa baru sampai hostel saat tengah malam. Namun saya tak khawatir.
Berdasarkan pengalaman, saya boleh masuk hostel selarut apa pun, bahkan bisa check in sendiri. Lagipula hostel tempat
saya menginap—namanya Beepackers—sudah memberi petunjuk jelas lewat surel. Jadi
saya tahu passcode untuk masuk. Yang
perlu saya lakukan adalah menemukan gedungnya, naik ke lantai lima, lalu masuk
ke Beepackers dengan passcode itu.
Selanjutnya tinggal check in sendiri
sesuai petunjuk yang tertera.
Dengan tenang, saya pun menyusuri
daerah Tsim Sha Tsui. Hostel saya terletak di Carnarvon Road nomor 44-46. Tak
terlalu sulit untuk menemukan gedungnya. Saat sampai sana, ternyata pintu
utamanya terkunci! Tak bisa dibuka! Bahkan tak ada penjaganya. Dengan bingung,
saya pun menggedor pintu itu. Tak ada yang terjadi. Hari makin larut dan saya
sudah capek. Bagaimana cara masuk ke sana? Dalam surel yang dikirim Beepackers,
ada nomor telepon mereka. Namun saya tak punya pulsa untuk menelepon. Kartu
seluler yang dibeli hanya bisa untuk internetan. Duh, bagaimana ya? Saya pun
bengong sambil berpikir mau tidur di mana. Tiba-tiba, sepasang suami istri
datang. Tampaknya baru selesai belanja. Ternyata mereka adalah pemilik
Beepackers! Kebetulan sekali. Mereka segera membuka pintu utama dengan kunci,
lalu mengajak masuk.
Oleh sang pemilik, saya diajari untuk
check in sendiri. Tak terlalu sulit. Begitu
masuk ke Beepackers, alas kaki harus diganti dengan selop yang sudah
disediakan. Lalu cari nama kita di deretan loker. Setelah ketemu, ambil
serentengan kunci yang tersedia. Ada tiga kunci, masing-masing untuk loker,
pintu kamar, dan pintu utama gedung. Jangan lupa ambil handuk dari hostel. Kemudian,
masuklah ke kamar yang tertera di kunci. Satu kamar diisi tiga orang.
Benar-benar sangat sempit. Ukurannya hanya sekitar 2,5 meter x 2,5 meter. Sudah
termasuk kamar mandi seukuran 1,5 meter x 1 meter. Kamar itu dijejali tiga
tempat tidur. Kebetulan saya dapat bagian di atas. Langit-langitnya sangat
rendah, saya tak bisa duduk tegak di atas kasur. Ternyata standar hostel di
Hong Kong memang begitu. Harga properti mahal, padahal penduduknya banyak. Jadi
kebanyakan hunian memang sempit. Namun cukuplah bagi saya. Lagipula lebih
banyak berada di luar hostel.
Beberapa hari kemudian, saya pulang sekitar
pukul 19.00. Mau mampir mandi lalu pergi lagi. Ada yang bilang kalau makanan
beku di Hong Kong enak-enak—jadi saya beli satu untuk dimakan di hostel. Kebetulan
sedang sepi. Saya langsung makan tanpa ganti baju. Tiba-tiba ada seorang
pengunjung baru yang datang. Wanita tua itu tampak bingung dan kelelahan.
Ternyata, sebelumnya dia sudah datang ke Beepackers—tapi passcode yang dimasukkan salah. Jadi tak bisa masuk. Lalu dia
keliling kota dulu, baru kembali lagi ke sini. Untung saya makan di ruang depan
jadi bisa membukakan pintu. Karena saat itu tak ada pemilik, saya langsung
memberitahunya untuk check in sendiri.
Tak lupa menunjukkan caranya satu per satu. Saking ahlinya, saya dikira pemilik
hostel oleh wanita itu. Sebab saya masih pakai blazer dan berdandan rapi. Lucu
juga—di hari pertama saya hampir tak bisa masuk, tapi beberapa hari kemudian
malah dikira pemilik!
2. Tersesat malam-malam bersama 10.000 patung Buddha yang menyeramkan
Selama traveling, saya mengunjungi berbagai tempat wisata. Ada Victoria
Peak (puncak tertinggi Hong Kong), Nan Lian Garden (taman indah seluas 3,5
hektar), Ladies Market (tempat belanja murah meriah), dan lain-lain. Yang paling
berkesan adalah Ten Thousand Buddhas Temple. Tadinya saya berencana ke sana
saat hari terang. Namun, suatu hari agenda saya selesai lebih cepat. Saat itu
baru sekitar pukul 19.00. Jadi saya memutuskan untuk ke Ten Thousand Buddhas
Temple. Yang tak saya ketahui, ternyata tempat itu tutup saat malam. Padahal
saya kira akan lebih indah dengan lampion, lilin, dan penerangan lainnya.
Saya pun naik MTR ke daerah Sha Tin.
Dari sana berjalan cukup lama. Ternyata daerahnya sepi, tak seperti Tsim Sha
Tsui yang ramai sampai tengah malam. Namun saya tetap berjalan. Sempat nyasar juga
ke perumahan orang jompo. Setelah mencermati Google Maps lagi, saya berhasil
masuk ke jalur menuju Ten Thousand Buddhas Temple. Jalur itu sepi dan gelap.
Hampir tak ada penerangan. Hanya jalan setapak kecil yang dikelilingi pagar dan
pepohonan besar. Tak ada orang sama sekali. Saya sendirian. Tadinya mau balik
arah, tapi ada papan yang memberitahu kalau jaraknya tinggal beberapa ratus
meter lagi. Namun suasana makin mencekam. Seolah bisa muncul hantu kapanpun. Mulai
ada firasat kalau tempat itu tutup, tapi karena nanggung, ya sudah. Bagaimana
kalau muncul hantu? Saya kurang percaya pada begituan, jadi tidak takut.
Saya pun berjalan terus. Saat
berbelok di tikungan, betapa kagetnya saya! Ada puluhan patung Buddha yang
menyambut. Berjajar-jajar. Hampir seukuran manusia asli. Ekspresinya
macam-macam—ada yang marah, sedih, takut, dan sebagainya. Dengan minimnya
cahaya saat itu, mereka kelihatan sangat seram. Seolah diawasi puluhan pasang
mata. Setelah foto-foto sebentar, saya langsung ambil langkah seribu. Barulah
beberapa bulan kemudian saya tahu kalau tempat itu angker. Di sana ada rumah
penyimpanan abu jenazah. Biasa dipakai untuk ziarah orang yang sudah meninggal.
Untung saya tak melihat yang macam-macam. Tapi, pengalaman ini jangan ditiru
ya. Soalnya bahaya. Tak hanya hantu, bisa-bisa bertemu penjahat juga. Saya
memang kelewat nekat. Syukurlah masih selamat.
3. Menemukan “rumah” citarasa Indonesia di Hong Kong
Jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
di Hong Kong sangat banyak. Ada sekitar 170.000 orang. Mereka bekerja pada
majikan sebagai pembantu, pengasuh anak, atau lainnya. Dengar-dengar, gaji terendah
mereka adalah 7 juta rupiah per bulan. Dengan gaji sebesar itu, sepertinya TKI
di sana cukup sejahtera. Apalagi biaya hidup ditanggung majikan. Tak heran
banyak yang betah di sana. Sejumlah TKI yang saya temui bahkan sudah bekerja
selama 10-20 tahun. Mereka seolah sudah punya wilayah sendiri. Saat pergi ke
daerah Causeway Bay, saya melihat banyak TKI. Sebagian memakai kerudung, jadi
mudah dikenali. Dandanannya pun modis-modis. Mengenakan baju bergaya dengan make up lengkap. Cara jalannya juga cepat,
mungkin karena sudah biasa berjalan di Hong Kong.
Ada alasan kenapa banyak TKI
berkumpul di daerah Causeway Bay. Sebab di sana ada Konsulat Jendral Republik
Indonesia (KJRI). Salah satu tugasnya adalah mengelola kesejahteraan TKI. Saat
saya ke kantornya, ada antrean panjang TKI yang hendak mengurus perizinan. Untung
saya bisa langsung masuk untuk bertemu Mas Pangky, Konsul Muda Pensosbud.
Beliau sangat luwes dan asyik. Menyambut dengan ramah, lalu mengajak saya
memutari KJRI. Saya dikenalkan pada banyak orang. Di antaranya adalah komunitas
tari yang beranggotakan TKI. Saat itu mereka sedang berlatih. Namun dengan baik
hati, ketuanya menyempatkan diri untuk memberi penjelasan pada saya. Ternyata
mereka sering pentas di acara-acara yang diadakan KJRI. Bagi saya ini
mengagumkan—selain bekerja jadi TKI, mereka masih aktif berkarya.
Setelah itu, Mas Pangky mengenalkan
saya pada istrinya, Mbak Ajeng. Beliau adalah wanita muda yang energik.
Langsung gembira saat berkenalan dengan saya. Mbak Ajeng mengajak makan siang
di restoran. Kami berdua makan rice
noodle dan minum honey lemon yang
segar. Lalu sempat belanja jajanan tradisional di pasar. Setelah itu, kami ke
Victoria Park dan menikmati pemandangan Hong Kong dari puncak tertinggi. Baru
pulang setelah agak malam. Mbak Ajeng dan Mas Pangky menawari untuk menginap di
apartemen mereka. Dengan gembira saya pun menyanggupi. Di sana berkenalan
dengan anak mereka yang lucu, juga pengurus rumah tangga yang baik. Malam itu
saya tidur nyenyak. Paginya sarapan lalu berpamitan.
Dari apartemen mereka, saya pulang ke
hostel. Lantas berkemas dan check out.
Namun tas ransel masih dititipkan sana, karena saya harus ke sebuah mall untuk bertemu dengan mahasiswa asal
Indonesia. Mereka tergabung dalam Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Hong Kong. Saya
janjian dengan tiga di antaranya. Ada Are (ketua), Sena (wakil ketua), dan
Melvina (anggota). Kami pun pindah ke Chinese University of Hong Kong yang
terletak tak jauh dari sana. Lalu saya mewawancarai mereka tentang pendidikan
di Hong Kong. Mulai dari biaya (ternyata memang tinggi, namun masih sesuai
standar kuliah luar negeri), beasiswa (belum banyak, tapi KJRI berusaha
menambah jumlahnya), dan berbagai kebiasaan kuliah di sana (boleh berpakaian
bebas, pakai celana pendek juga oke). Semua bersikap ramah dan sangat membantu.
Saya jadi dapat banyak informasi penting.
Setelah selesai wawancara, saya
kembali ke hostel untuk mengambil ransel. Lantas pergi ke bandara. Untung masih
banyak waktu, jadi tak terburu-buru. Bandara Internasional Hong Kong sangat
luas. Ada dua terminal dengan ratusan gate.
Saya pun menuju gate yang tertera di
tiket. Di dekat sana disediakan banyak sofa, jadi saya duduk dan istirahat.
Perlahan mengingat-ingat memori selama lima hari ini. Ada yang menyenangkan,
tapi ada juga yang menyulitkan. Berkali-kali harus menghadapi tantangan tak
terduga. Namun saya berhasil mengatasi semuanya. Saya pun merasa lebih kuat dan
mantap. Itulah keuntungan dari traveling seorang
diri. Bagaimana denganmu? Tertarik untuk melakukannya? Lakukan saja! Tak perlu
banyak berpikir. Yang paling penting adalah tekad dan keberanian.
6 comments
Pandan, kamu keren banget sih. Kalau suatu saat nanti impianku solo travelling tercapai, aku bakal tanya2 ke kamu dulu ya. Aku pengen banget soalnya pergi jauh sendirian :) Thanks for sharing!
ReplyDeleteMakasih Mbak Erny. Siip, semoga segera tercapai. Mbak Erny juga keren, dulu pas ke Jepang banyak nulis di blog. Yang aku suka, tiap tulisannya selalu dilengkapi foto-foto yang kece. Bikin orang jadi makin happy ngebacanya. Aku juga pingin tanya-tanya ke Mbak tentang cara bikin foto yang bagus buat blog.
DeleteThank you for reading :)
keren, baik pengalaman maupun cara berceritanya. Semoga suatu saat bisa bertemu buat bertanya tentang solo travelling dan berbagi cerita terkait banyak hal.
ReplyDeleteBtw kalo masih ingat, aku temennya venda anak antro,yg dulu pkm buat berencana buat proyek tentang bahasa bisindo
Waaah ini Dion? Iya, aku masih inget. Dulu kita berempat mau bikin PKM kan, yang sama Astri juga. Udah lama banget ya. Jadi kangen :)
DeleteMakasih banyak udah baca tulisanku. Sip, semoga kita bisa segera ketemu :D
sIP! Yang catatan mbolang dalam negeri ada ga?
ReplyDeleteMatur nuwun Mas udah baca :D Yang dalam negeri juga ada, ini pengalaman-pengalaman saya selama KKN sekaligus mbolang di Bali:
Deletehttp://www.ratupandanwangi.com/2016/06/bali-dan-kehidupan-kkn.html
http://www.ratupandanwangi.com/2016/06/perbedaan-bali-dan-jogja-dari-mata.html
http://www.ratupandanwangi.com/2016/07/lebaran-dan-hidup-beda-agama.html
http://www.ratupandanwangi.com/2016/07/4-hal-yang-kita-sadari-saat-tinggal.html
http://www.ratupandanwangi.com/2016/08/3-pengalaman-tak-terduga-selama-saya.html