Makanan Terakhir Sebelum Dihukum Mati
Monday, January 02, 2017
Kemarin saya membaca tentang
orang-orang yang dihukum mati. Sebelum dieksekusi, mereka boleh meminta makanan
apa pun untuk disantap terakhir kalinya. Makanan itu bermacam-macam. Ada yang
hanya minta dua sendok es krim. Ada juga yang minta makanan mewah berupa
lobster, steak, dan kue pie sebagai
pencuci mulut. Saya tak tahu apa yang mereka pikirkan saat memilihnya. Apa
sengaja memilih makanan mahal? Atau makanan yang belum pernah dicoba? Entah
bagaimana perasaan mereka saat menyantapnya.
Photo by Lidye on Unsplash |
Seandainya saya yang dihukum mati, saya
tahu apa yang harus dipilih. Tentu saja makanan yang berkesan dalam hidup saya…
yaitu masakan Ibu. Sebenarnya ibu saya jarang memasak. Kami lebih sering beli
lauk-pauk di luar. Dengan fisik yang agak lemah, Ibu memfokuskan tenaga untuk
pekerjaan rumah tangga lain. Beliau juga masih harus melukis. Tak seperti yang dikira,
melukis itu tak mudah—butuh banyak waktu, tenaga, dan konsentrasi yang kuat.
Sehari-hari Ibu menggarap kanvas kecil sampai raksasa. Beliau banyak mengangkat
tema budaya Tionghoa, Jawa, dan berbagai isu tentang perempuan.
Dengan tenaga dan waktu yang
terbatas, Ibu cenderung memasak sesuatu yang simpel. Misalnya nasi goreng.
Telur dadar. Sup sayuran. Bisa juga bakpau atau kue bolu. Semua dibuat dengan
bumbu yang minimalis. Di keluarga kami ada yang kena penyakit tertentu, jadi
harus mengurangi gula, garam, apalagi micin. Karena itulah masakan Ibu terasa
agak hambar. Namun karena sudah terbiasa sejak kecil, bagi saya enak-enak saja.
Ada kemewahan di balik rasa sederhana itu.
Ibu selalu mengajari saya untuk merasakan. Misalnya saat mencicipi
sepotong kue yang polos. Tanpa krim, cokelat, atau manisan buah sama sekali.
Benar-benar hanya kue biasa. Namun, Ibu akan berkata kalau kue itu sangat enak.
Kuning telurnya terasa. Menteganya harum. Teksturnya lembut dan leleh di lidah.
Pada awalnya saya bingung karena tak bisa merasakan hal yang sama. Tapi berkat
arahan Ibu, lama-lama lidah saya terlatih. Saya bisa menyadari berbagai rasa
yang tersembunyi. Seperti rasa tepung, rasa gula jawa, dan berbagai rasa
lainnya. Begitu juga saat minum air mineral botol. Sebenarnya tiap merk berbeda—ada
yang agak manis, pahit, dan berbau seperti bahan kimia. Yang paling saya suka
adalah Aqua karena ada rasa kelapanya.
Saat beranjak dewasa, saya sadar
kalau ajaran Ibu tak berhenti pada makanan. Saya belajar untuk melihat
keistimewaan dalam berbagai hal sederhana. Misalnya saja kecantikan. Menurut
saya, tiap perempuan punya kecantikan yang berbeda. Ada yang terlihat jelas
seperti mentari di siang bolong. Ada juga yang baru tersingkap pada momen
tertentu—entah saat tersenyum, memejamkan mata, atau membenarkan rambutnya.
Begitu pula saat menulis. Saya sering dapat inspirasi dari berbagai hal
sehari-hari. Sepintas tampak remeh, tapi kalau direnungkan dan dimaknai, setiap
hal bisa memberi kita pelajaran yang berharga.
Itulah ajaran yang disampaikan Ibu
pada saya. Sampai kapanpun bakal saya ingat. Begitu juga dengan masakan beliau.
Saat ini, kami berdua masih tinggal serumah. Setiap hari bisa mengobrol,
berbagi cerita, dan saling menyemangati. Namun waktu terus berlalu. Akan tiba
saatnya saya tinggal sendiri. Mungkin kami jadi jarang bertemu. Kelak kalau
saya merindukan Ibu… saya akan memasak sesuatu yang agak hambar.
0 comments