Sepasang Kaki Telanjang di Jalan Berbintang
Monday, January 09, 2017
Kadang saya melihat orang-orang berjalan dengan kaki telanjang. Mungkin mereka gelandangan. Penampilannya kumuh. Pakaian dekil dan sobek. Keringat mengucur di kulit yang gosong terbakar matahari. Mereka menyusuri jalan raya dengan tatapan pasrah. Kelelahan. Entah dari mana perjalanan mereka bermula... dan entah di mana akan berakhir. Rasa penasaran saya muncul tiap kali melihat orang-orang itu. Sudah berapa jauh mereka berjalan? Apakah tak ada uang untuk sekadar beli sandal jepit? Memangnya kaki mereka tak sakit atau terluka? Rasanya penasaran sekali, tapi sungkan untuk bertanya.
Photo by Aziz Acharki on Unsplash |
Suatu hari, saya memperoleh semacam jawaban. Momen itu terjadi bertahun-tahun lalu. Saya masih seorang pelajar SMP yang sibuk menyiapkan Ujian Nasional. Tiga kali seminggu, saya les di bimbingan belajar yang lumayan dekat dari rumah. Kalau berjalan hanya 15-20 menit. Apalagi saya memilih kelas malam, jadi suasana jalan lebih menyenangkan. Tidak panas terik seperti siang hari. Semua gelap, hitam, dengan cahaya lampu-lampu yang temaram.
Malam itu saya ikut les seperti biasa. Lalu pulang seperti biasa juga. Sialnya, tiba-tiba sebelah sandal jepit saya putus! Padahal perjalanan masih cukup jauh. Saya juga tak bawa uang lebih. Teman-teman sudah pulang lebih dulu, jadi tak bisa dipinjami uang. Hmmm. Saya pun mencoba memperbaiki sandal itu. Namun baru dipakai berjalan beberapa langkah, sandalnya putus lagi. Dengan kesal, saya mencampakkannya ke trotoar.
Aneh rasanya kalau hanya memakai sandal sebelah. Akhirnya saya putuskan untuk tak memakai alas kaki sama sekali. Alias nyeker. Beberapa orang memerhatikan saya. Jalanan itu memang jalan raya, dengan berbagai macam toko dan restoran di kedua sisinya. Banyak kendaraan dan orang yang berlalu lalang. Tapi saya sih cuek saja. Hanya sedikit cemas kalau-kalau kaki saya tertusuk sesuatu. Maka saya perhatikan jalan dengan cermat. Menghindari permukaan yang tak rata dan genangan air.
Baru kali itulah, saya betul-betul memerhatikan jalan. Ternyata permukaan jalan tampak indah di malam hari. Aspal yang gelap berkelap-kelip tertimpa sinar lampu. Seperti taburan bintang di luar angkasa. Dengan takjub, saya melangkah perlahan-lahan. Merasakan hangatnya aspal yang disinari mentari sepanjang hari. Aneh memang, tapi rasanya damai. Seolah ada yang menerangi jalan saya sampai rumah. Mungkin itu juga yang dirasakan para gelandangan tadi. Berjalan dari pagi sampai malam. Tanpa sandal, mungkin juga tanpa tujuan. Namun mereka melalui jalur yang seolah bertabur bintang.
Seolah Tuhan sendiri yang mengirim bintang-bintang itu.
0 comments