Tentang Sastra Prancis dan Mereka yang Pergi Satu per Satu
Thursday, January 05, 2017
Kisah ini
dimulai pertengahan tahun 2013. Saat itu saya diterima jadi mahasiswa UGM. Namun bidang yang saya pilih—Sastra Prancis—tidak saya
kuasai. Sebelumnya memang
tak pernah belajar bahasa Prancis. Lantas kenapa memilih jurusan itu? Ada beberapa alasan. Pertama, justru karena tak
tahu makanya belajar. Kedua, saya tertarik pada karya sastranya yang sangat
mantap—cenderung kelam, satir, dan menohok. Ketiga, saya sengaja memilih
jurusan yang kuliahnya tak terlalu sibuk. Jadi masih banyak waktu untuk
ikut organisasi, bekerja, dan berkarya.
Photo by Alexis Minchella on Unsplash |
Tahun itu, ada 23 orang yang
diterima di Jurusan Sastra Prancis. Terdiri dari 8 laki-laki dan 15 perempuan
termasuk saya. Sedikit? Begitulah. Setiap tahun, biasanya satu
angkatan hanya berisi 20-an orang. Jadi bisa belajar lebih intens. Kelas pertama saya
berlangsung pada suatu Senin di bulan September. Saya datang agak mepet. Saat
hendak naik tangga ke lantai 3, saya berpapasan dengan seorang dosen
berkacamata. Kami berkenalan sejenak. Ternyata beliau adalah dosen pengampu
mata kuliah pertama saya!
Sebut saja
Monsieur. Beliau
mengajar mata kuliah Pengungkapan 1. Dalam kelas itu, kami belajar cara
berkomunikasi verbal dalam bahasa Prancis. Monsieur pun mengajari beberapa kalimat
dasar. Salah
satunya adalah: vouloir c’est pouvoir. Artinya, mau berarti bisa.
Mirip dengan peribahasa when there is a
will, there is a way. Dengan kalimat itu, Monsieur memanas-manasi kami
untuk giat belajar supaya bisa melanjutkan kuliah di Prancis. Beliau berujar, “Nggak cukup
dengan belajar, kalian harus aktif di kelas. Gimana saya bisa tahu kepintaran
kalian kalau seisi kelas diam aja? Nggak apa-apa ngomongnya salah, saya nggak
akan makan kalian.”
Berani salah. Itulah syarat
mutlak untuk belajar bahasa baru. Semester pertama cukup berat untuk kami.
Hanya beberapa anak saja yang pernah belajar bahasa Prancis sebelumnya. Untung semua diajari dari nol. Salah satu
kesulitan dalam bahasa Prancis adalah pelafalannya. Antara kalimat yang tertulis
dan cara membacanya benar-benar berbeda. Ditambah lagi, kami perlu menguasai
aksen Prancis yang dianggap seksi—penekanan berlebihan pada huruf “r”,
perbedaan pelafalan huruf “f” dan “v”, serta banyak lagi. Para pemula bisa
terpilin lidahnya.
Tak terasa semester 1
berlalu. Berlanjut dengan semester 2, 3, 4, 5, 6, dan 7. Waktu
berlalu seperti terbang. Kami tak hanya mempelajari bahasa Prancis, tapi juga mendalami sastranya. Sederet mata kuliah sastra
mempertemukan kami dengan kehebatan Jean-Paul Sartre, Molière, Guy de
Maupassant, Diderot, René Descartes, dan banyak lagi. Ada juga
berbagai mata kuliah tentang budaya, sejarah, seni, pariwisata, dan
administrasi di Prancis serta negara-negara lain di Eropa. Tak hanya itu, kami berkutat
dengan linguistik—ilmu yang membedah kalimat, kata, bahkan huruf. Materi terus
berubah dan bertambah. Begitu juga dengan tugasnya. Para dosen banyak memberi
tugas membaca dan menulis. Kadang bahasa Indonesia, kadang bahasa Inggris, dan
tentunya bahasa Prancis.
Sejak
semester 6, kami diminta untuk memilih antara Linguistik atau Sastra. Bidang
konsentrasi itu digunakan untuk menggarap skripsi. Ya, sudah saatnya membuat proposal
skripsi dan mengikuti seminar. Makin lama kuliah terasa makin menantang. Semua itu mendukung
kami untuk mencapai hasil yang lebih baik... sekaligus menjalankan seleksi
alam. Satu demi satu teman saya keluar. Di jurusan lain, beberapa anak yang
keluar mungkin tak membawa banyak perubahan. Namun jumlah angkatan kami sangat
sedikit. Kehilangan jadi lebih terasa.
Orang pertama yang keluar
adalah Damon. Dia hanya pernah masuk kuliah satu-dua kali pada semester
pertama, setelah itu tak terdengar lagi kabarnya. Ternyata sudah lama terdaftar
sebagai mahasiswa di kampus lain. Lalu orang kedua yang keluar adalah Atsu—beberapa orang
memanggilnya Gazza, mungkin takut salah ucap dan yang keluar justru makian. Dia hanya aktif kuliah pada
semester 1, lalu pindah ke jurusan manajemen di kampus lain.
Sedangkan orang ketiga yang
keluar adalah Deyo. Berita pengunduran dirinya membuat banyak orang heran,
sebab dia sudah
kuliah hampir empat semester. Namun memang kelihatan kurang antusias di kelas.
Sekarang Deyo mendalami bidang yang benar-benar dia minati—memasak—dan memulai
usaha kuliner. Tak lama setelah Deyo keluar, Yuni pun menyusul. Dia memutuskan untuk
mengejar mimpinya di bidang lain. Kalau tak salah, sekarang dia pindah ke
Jakarta. Semoga sukses untuk kalian semua.
Dari 23 orang angkatan saya,
sekarang hanya tinggal 19. Itu pun berkurang 3 orang lagi karena mereka harus
mengulang mata kuliah pokok—Pengungkapan, Pemahaman, dan Tata Bahasa—yang ada terus
sampai empat tingkat. Jadi saya hanya sekelas dengan mereka dalam beberapa mata
kuliah pilihan. Di luar itu, isi kelas kami hanya 16 orang. Apalagi
setelah dibagi dua dalam Kelas Sastra dan Kelas Lingustik, jumlah per kelasnya makin
menyusut. Pada
masa gelombang malas menyerang, tak sedikit mahasiswa yang bolos. Saya pernah
mengikuti kelas yang isinya hanya 7 orang. Seperti les privat saja. Untung ada tambahan beberapa orang
dari angkatan atas.
Namun jumlah tak menentukan
kualitas. Semoga saya dan teman-teman Sastra Prancis bisa kuliah bareng sampai
lulus. Lantas memasuki kehidupan yang sebenar-benarnya. Saat reuni beberapa
tahun lagi, mungkin sebagian sudah menggandeng pasangan dan menggendong anak. Ada yang
bekerja di perusahaan, ada yang membangun usaha sendiri. Mungkin juga melanjutkan studi ke tingkat
yang lebih tinggi. Apa pun bisa terjadi, tergantung usaha masing-masing.
Vouloir c’est pouvoir.
6 comments
Begitulah. terseleksi, tapi bukan berarti gagal. hanya bukan tempatnya di situ..
ReplyDeleteSetuju Mas! Kesimpulan yang mantap. Tiap orang memang punya jalan sendiri-sendiri ya. Anyway, makasih udah baca dan ngasih komentar 😊👍
DeleteMenulis seperti ini penting. Seseorang yang suka menulis, diyakini orang dia suka baca. Sartre menutup kekecewaannya karena ibunya menikah dengan membaca--dan dalam membaca dia menemukan eksistensi. Ketika penemuannya itu diungkapkan dalam 'Les Mots', dia dianugerahi Nobel Sastra, dan dia menolak. Selamat menulis, klo bisa yang lebih menentukan siapa dirimu
ReplyDeleteTerima kasih buat komentarnya yang indah :) Tunggu tulisan-tulisan saya selanjutnya
DeleteWah, mantap, Kak!
ReplyDeleteKalau boleh tau, Kakak kuliah Sastra Prancis dimana?
Salam kenal,
Saifa
Termotivasi banget nih kak! Terima kasih. Bismillah Sasper UGM 2018💪
ReplyDelete