Jatuh Sakit, Mengingat Kematian, dan Menerima Bantuan

Monday, March 10, 2025

Seminggu lalu, aku bertanya-tanya apakah aku akan mati. Malam itu aku sakit pilek dan batuk lebih parah dari biasanya. Napasku terasa sesak dan tersengal-sengal, bahkan hampir tak bisa bernapas tiap kali berbaring. Akhirnya aku mencoba tidur dengan cara duduk di kursi kerjaku. Sedangkan kepalaku menelungkup di atas meja dengan bantuan bantal dan guling. Namun, tetap saja posisi itu terasa sangat tidak nyaman dan aku hampir tak bisa tidur.

Dalam kegelapan kamarku dan sayup-sayup alunan musik yang kusetel, aku berpikir apakah sesak napas ini akan membuatku mati

Aku pun teringat pada mimpiku beberapa bulan lalu, saat mendadak aku terbangun di ruangan yang sangat luas dalam kondisi sudah meninggal. Namun tenang saja, aku tidak menganggap mimpi itu sebagai pertanda kematian atau apa. Aku hanya menganggapnya sebagai khayalan bawah sadar yang muncul karena aku memang suka berpikir tentang misteri kehidupan dan kematian.

Nah, dalam mimpi kali itu, aku terbangun dalam ruangan luas yang berisi banyak tempat tidur tingkat berwarna putih. Ada begitu banyak orang yang berlalu-lalang di sana dan semuanya sudah meninggal. Di kejauhan, aku melihat mendiang bapakku dan mendiang teman masa kecilku. Mereka melambaikan tangan ke arahku.

Saat itulah aku menyadari bahwa aku pun sudah meninggal. Namun anehnya, aku tidak merasa sedih atau menyesal. Aku hanya menerima hal itu dengan biasa.

Di saat bersamaan, tiba-tiba terdengar raungan dan tangisan di dekatku. Ternyata sumbernya adalah seorang wanita yang sangat cantik, dengan wajah keibuan dan rambut hitam panjang. Aku langsung mengenalinya. Di dunia nyata, dia adalah musisi terkenal favoritku dan umurnya sebaya denganku. Entah mengapa dia muncul dalam mimpiku.

Saat menyadari bahwa dia juga sudah meninggal, musisi ini tampak sangat sedih dan tidak terima. Tangisannya semakin keras dan badannya meronta-ronta, sampai harus dipegangi orang-orang di sekitarnya.

Aku pun berpikir: apa dia seperti itu karena tak rela meninggalkan hidupnya yang penuh kesuksesan dan pencapaian? Lalu bagaimana denganku sendiri? Kenapa aku bisa begitu mudah merelakan? Apa karena hidupku biasa-biasa saja? Atau karena aku lebih mudah menerima takdir? Entahlah. Sebelum sempat berpikir lebih jauh, aku terbangun dari mimpi itu.

Photo by Jeremy Yap on Unsplash
Sekarang mari kita kembali pada kondisiku di awal, yang sedang sesak napas dan berusaha tidur dalam kondisi duduk. Syukurlah aku bisa melewati malam itu. Esok paginya, aku langsung pergi memeriksakan diri ke dokter.

Dokter itu langsung mengukur saturasi oksigenku, yang ternyata masih 100% alias normal. Aku merasa lega. Ternyata di saat pikiranku sudah khawatir ke mana-mana, tubuhku tetap berusaha keras memompa dan mengalirkan oksigen agar aku tetap hidup. Aku pun merasa disayang sekali oleh tubuhku.

Kemudian, aku mendapat terapi nebulizer. Dokter memasukkan obat cair ke dalam mesin, lalu mesin itu mengubahnya menjadi uap yang kuhirup melalui masker khusus. Aku langsung merasa enakan dan bisa bernapas dengan lebih lancar. Sesampainya di rumah, akhirnya aku bisa berbaring di kasur lagi dan langsung tertidur lelap.

Berada dalam kondisi sakit selalu membuatku menyadari kebaikan-kebaikan dari orang di sekitarku

Setelah kunjungan ke dokter seminggu lalu, aku pun lebih banyak beristirahat untuk pemulihan. Aku mendapat tiga macam obat yang kuminum setiap hari, ditambah multivitamin yang kubeli sendiri.

Sementara itu, ibuku membuatkan wedang jahe dan serai setiap hari untuk menyembuhkan batukku. Beliau juga membelikan buah dan memastikan aku makan dengan cukup. Adik-adikku pun menanyakan kabarku secara berkala. Adik perempuanku membuat brownies enak untuk kami makan bersama, dan adik laki-lakiku membelikan kurma dan kismis sebagai camilan sehat.

Kondisi ini sungguh berbeda dengan masa-masa saat aku tinggal sendiri. Misalnya waktu aku ngekos untuk pertama kalinya waktu kuliah. Saat itu, aku terbangun dengan demam tinggi dan tanpa makanan sedikit pun. Terpikir untuk memesan makanan lewat ojek online, tetapi rasanya aku tak akan cukup kuat untuk bangun dan mengambilnya. Sedangkan penjaga kos dan teman-teman lain tak terdengar suaranya. Lagipula, aku agak sungkan untuk meminta bantuan mereka karena belum lama kenal.

Akhirnya aku memutuskan untuk kembali tidur dalam kondisi demam, tanpa makanan dan tanpa obat. Untunglah kondisiku berangsur-angsur membaik dan akhirnya aku bisa keluar kamar untuk membeli barang yang kubutuhkan. Sejak saat itulah, aku jadi sering menyimpan stok obat dan bahan makanan yang tahan lama, supaya bisa lebih mengandalkan diriku sendiri dalam kondisi sulit.

Terkadang aku berpikir, apakah usahaku untuk mandiri merupakan wujud kekuatan? Atau justru wujud rasa takut untuk bergantung pada orang lain?

Sebagai anak tengah dari lima bersaudara, sejak kecil aku menyadari bahwa sudah ada cukup banyak masalah di rumah kami tanpa ditambah masalahku juga. Anggota keluargaku yang lain sudah tampak sibuk, repot, dan capek dengan masalah masing-masing. Karena itulah aku selalu berusaha tidak merepotkan dan sebisa mungkin menyelesaikan masalahku sendiri.

Aku pun tumbuh menjadi orang dewasa yang tak tahu cara meminta bantuan saat membutuhkannya. Namun, aku menyadari kekurangan ini dan sedang memperbaikinya pelan-pelan. Aku berusaha lebih mempercayai orang-orang di sekitarku. Aku berusaha lebih terbuka dan bercerita lebih banyak. Aku berusaha meminta tolong saat tak sanggup melakukan sesuatu sendiri.

Bahkan semakin bertambahnya usia, aku menyadari bahwa aku semakin membutuhkan orang lain. Sebab, masalah hidup yang kuhadapi sekarang jauh lebih berat dan jauh lebih mengerikan dibanding dulu. Alangkah suramnya hidup ini kalau aku harus terus-menerus menghadapi masalah sendirian, sementara ada orang-orang baik di sekitarku yang bersedia mengulurkan tangan.

Jadi untuk kalian yang mengalami masalah sepertiku, kuharap kita bisa mengatasinya pelan-pelan. Menjadi mandiri itu memang baik, tapi adakalanya kita perlu bergantung pada orang lain. Saling bercerita, saling mendengarkan, saling membantu, dan saling menemani agar tidak kesepian.

Untuk menutup postingan kali ini, aku akan bercerita sedikit tentang kehidupan para biksu dan keberanian mereka untuk meminta tolong

Melalui YouTube, aku suka menonton kehidupan para biksu di Thailand karena terlihat sangat menentramkan. Sehari-hari mereka tinggal di kuil dan menjalani rutinitas yang sederhana. Salah satunya adalah berjalan beriringan dan mengumpulkan makanan dari masyarakat sekitar. Jadi makanan yang mereka santap setiap hari berasal dari persembahan orang lain.

Tanpa mengurangi rasa hormat, waktu itu aku sempat heran, kenapa para biksu harus meminta makanan dari orang lain? Kenapa tidak mengusahakan semuanya sendiri?

Ternyata bagi para biksu, meminta makanan dari orang lain bukanlah ketergantungan secara negatif, melainkan hubungan timbal balik secara spiritual. Untuk melakukannya, mereka harus membuang ego dan kesombongan. Mereka juga harus berani berserah diri dan menyadari bahwa manusia tidak bisa hidup sendirian. Di sisi lain, melalui tradisi tersebut, para biksu memberi kesempatan pada orang-orang untuk berbuat baik dan saling mendoakan.

Menurutku, itu adalah hal yang indah. Semoga kita pun bisa saling membantu agar hidup ini menjadi lebih mudah dan lebih menyenangkan untuk dijalani.

You Might Also Like

0 comments